Istihadhoh Bukan Darah Biasa
Bila
anda ditanya tentang makna dan pengertian istihadhoh, maka katakanlah:
Istihadhoh adalah darah yang keluar dari jalan keluarnya darah haid, namun
bukan pada masa-masa haid dan bukan pula nifas atau terkadang bersambung dengan
keduanya.
Ia
bukanlah darah adat kebiasaan dan tabiat kaum wanita. Ia adalah darah yang
bersumber dari penyakit yang ada di dalam rahim, warnanya merah dan tidak akan
berhenti kecuali jika sakitnya sembuh.
Apabila ada darah bersifat seperti yang tersebut dalam penjelasan di atas, maka
dihukumi sebagai darah istihadhoh dan ini adalah perkara yang sudah amat jelas
dan mudah dipahami.
Masa
Istihadhoh
Bagaimanakah
hukumnya jika darah yang keluar terus-menerus tersebut bergandeng dengan darah
haid?! Jawab: Masalah ini tidak terlepas dari beberapa keadaan berikut:
- Wanita
yang mengalami hal ini, memiliki adat dan kebiasaan haid yang telah
dimaklumi
Dalam keadaan seperti ini hendaknya dia menunggu seukuran kebiasaan waktu haidnya lalu mandi dan sholat. Darah yang keluar setelah habis waktu kebiasaan haidnya adalah darah istihadhoh, bukan darah haid. Dasar hukumnya adalah perkataan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wassallam kepada Ummu Habibah rodhiallohu’anha: “Diamlah (tidak sholat dan puasa) seukuran masa haidmu, lalu mandi dan sholatlah.” (HR. Muslim dan Abu Dawud) - Tidak
mengetahui adat kebiasaannya, tetapi dapat membedakan antara darah haid
dengan selainnya
Dalam keadaan seperti ini hendaknya ia berusaha melihat dan membedakan darah yang keluar darinya. Jika ia melihat darah haid maka ia tidak sholat dan tidak pula puasa. Dan apabila telah bersih atau tidak terlihat tanda-tanda darah haid hendaklah dia mandi dan sholat serta puasa. - Wanita
yang baru pertama kali mengalami haid.
Dalam keadaan seperti ini, maka ia mengiaskan keadaannya dengan keadaan kebanyakan wanita yang terdekat dengannya, seperti ibu, saudari perempuan, atau bibinya. Artinya, jika ibunya atau yang lainnya dari wanita yang terdekat dengannya memiliki kebiasaan haid tujuh hari maka dia menghukumi dirinya bahwa masa haidnya adalah tujuh hari dan seterusnya.
Walhasil, dia mengikuti adat dan kebiasaan haid wanita yang terdekat dengannya. Lalu (setelah hitungan hari haidnya selesai) dia mandi dan sholat serta puasa, dan jika masih keluar darah maka dihukumi sebagai darah istihadhoh. - Wanita
yang lupa waktu dan adat kebiasaan haidnya
Wanita yang dalam kondisi seperti ini hukumnya seperti wanita yang baru pertama kali mengalami haid.
Wajibkah
berwudhu setiap kali hendak sholat?
Rosululloh
bersabda kepada Fathimah binti Abi Qubaisy: “Dan berwudhulah di setiap
hendak sholat sehingga datang waktu haid.” (HR. Bukhori)
Dan Rosululloh bersabda pula: “Dan ia (wanita yang terkena istihadhoh) berwudhu di setiap hendak sholat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Dan Rosululloh bersabda pula: “Dan ia (wanita yang terkena istihadhoh) berwudhu di setiap hendak sholat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Jika
seseorang bertanya: Apakah hukum wudhu di sini? Wajib atau sunnahkah? Maka
katakanlah: Pendapat yang kuat dalam masalah ini, hukumnya adalah sunnah.
Apabila ia telah berwudhu, wudhunya tidak dianggap batal kecuali dengan
pembatal-pembatal. Ia tidak wajib berwudhu di setiap hendak sholat karena ia
tidak mendapat manfaat dengan memperbarui wudhunya dan karena hadatsnya
terus-menerus, tiada berhenti sekejap pun. Dan adapun yang menjadi dalil
kesunnahannya adalah keumuman hadits Buroidah rodhiallohuanhu: “Nabi
berwudhu di setiap hendak sholat, maka pada saat hari perang pembukaan kota
Makkah beliau berwudhu dan mengusap kedua sepatunya dan melakukan beberapa kali
sholat dengan satu kali wudhu.” (HR. Muslim)
Wajibkah
mandi setiap hendak sholat?
Wanita
yang terkena sakit istihadhoh disunnahkan untuk mandi di setiap hendak sholat
jika mampu. Inilah yang paling utama baginya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ummu
Habibah rodhiallohu’anha. Ummul Mu’minin Aisyah rodhiallohu’anha berkata: “Maka
Ummu Habibah mandi di setiap kali hendak melakukan sholat.” (HR. Muslim)
Dan inilah pendapat jumhur ulama. Adapun hadits yang mewajibkan mandi di setiap hendak sholat tidaklah shohih sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Shiddiq Hasan Khon dalam Roudhotun Nadiyyah dan juga al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
Dan inilah pendapat jumhur ulama. Adapun hadits yang mewajibkan mandi di setiap hendak sholat tidaklah shohih sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Shiddiq Hasan Khon dalam Roudhotun Nadiyyah dan juga al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
Apabila
tidak mampu mandi di setiap hendak sholat maka dia boleh menjamak antara Zhuhur
dan Ashar dengan satu kali mandi. Lalu menjamak Maghrib dan Isya’ dengan satu
kali mandi. Lalu mandi ketika hendak sholat Shubuh. (Lihat hadits hasan riwayat
Abu Dawud: 287 dan Tirmidzi: 127) Dengan demikian ia mandi sebanyak tiga kali
dalam sehari semalam.
Bagaimana
jika tidak mampu melakukan kedua hal di atas? Jawab: Bila memang tidak mampu
melakukan kedua hal di atas, ketahuilah—rohmatullohi ’alaikunna—bahwa yang
wajib bagi wanita yang terkena istihadhoh adalah mandi satu kali ketika bersih
dari haidnya.
Wajib
Sholat dan Puasa
Telah kita maklumi bahwa darah istihadhoh bukanlah darah
haid dan hukumnya pun berlainan dengan hukum darah haid. Ulama telah sepakat
bahwa hukum wanita yang terkena sakit istihadhoh seperti hukum wanita yang suci
(tidak haid). (Lihat Shohih Fiqh Sunnah 1/217)
Rosululloh bersabda kepada kaum wanita yang terkena istihadhoh: “Apabila datang haidmu maka tinggalkanlah sholat. Dan jika telah berlalu maka cucilah darah darimu lalu sholatlah.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Rosululloh bersabda kepada kaum wanita yang terkena istihadhoh: “Apabila datang haidmu maka tinggalkanlah sholat. Dan jika telah berlalu maka cucilah darah darimu lalu sholatlah.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Boleh
Beri’tikaf
Dari Aisyah, beliau berkata: “Salah satu istri Rasulullah
melakukan i’tikaf bersama Rasulullah, dia melihat darah dan cairan berwarna
kekuning-kuningan dan wadah tempat darah berada di bawahnya sedangkan dia dalam
keadaan sholat.” (HR. Bukhori)
Dan ulama telah sepakat tentang bolehnya kaum wanita yang terkena istihadhoh untuk melakukan i’tikaf di masjid, sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shohih Muslim.
Dan ulama telah sepakat tentang bolehnya kaum wanita yang terkena istihadhoh untuk melakukan i’tikaf di masjid, sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shohih Muslim.
Boleh
Bersetubuh Dengan Suaminya
Alloh
Ta’ala berfirman dalam surat al-Baqoroh [2]: 222;
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah
suatu kotoran.” Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di
waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang menyucikan diri.
Dalam ayat ini Alloh menegaskan bahwa wanita yang haid tidak
boleh dicampuri. Sedangkan istihadhoh bukanlah haid, maka tidak mencegah suami
wanita yang terkena istihadhoh mengumpuli istrinya.
Semoga membuahkan ilmu yang bermanfaat lagi amali. Alhamdulillahi Robbil’alamin washsholatu wassalamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi washohbihi ajma’in.
Semoga membuahkan ilmu yang bermanfaat lagi amali. Alhamdulillahi Robbil’alamin washsholatu wassalamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi washohbihi ajma’in.