Namanya
Az Zubair bin Al Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin
Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Luay. Nasabnya bertemu Rasulullah saw pada Qushai bin
Kilab.Demikian pula ibunya, Shafiah, adalah saudara bapak Rasulullah saw.
Dia adalah putra Khuwailid, sahabat dekat
Rasulullah SAW, putra bibinya, Shafiyah binti Abdul Muththalib. Dia
termasuk salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga, termasuk
salah seorang dari enam orang Ahli Syura, dan orang yang pertama kali mengayunkan
pedangnya di jalan Allah. Dia adalah ayah Abdullah RA, yang masuk Islam saat
berusia 16 tahun. Dia seorang yang
berbudi tinggi dan berakhlaq mulia, penunggang kuda yang masyhur, pahlawan yang
gagah perkasa dengan pengabdian yang luar biasa.
Thalhah
dan Az Zubair, ibarat dua orang saudara kembar. Hampir setiap disebut nama
Thalhah, pastilah disebut juga nama Zubair. Begitu
pula setiap disebut nama Zubair, pastilah disebut orang pula Thalhah. Pada
waktu Rasulullah saw mempersaudarakan para shahabatnya di Mekkah sebelum
Hijrah, beliau telah mempersaudarakan antara Thalhah dengan Zubair. Sudah
semenjak lama Nabi saw memperkatakan keduanya secara bersamaan, seperti kata
beliau: ”Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di surga.”
Diriwayatkan dari Musa bin Thalhah, ia berkata,
“Ali, Zubair, Thalhah, dan Sa’ad dilahirkan pada tahun yang sama, sehingga usia
mereka sama.”
Urwah berkata, “Ketika Zubair datang dengan membawa
pedangnya, Nabi SAW bertanya, ‘Apa yang terjadi padamu?’ Zubair menjawab, ‘Aku
diberi kabar bahwa ada yang menyakitimu’. Nabi menjawab, ‘Apa yang akan kamu
lakukan?’ Zubair menjawab, ‘Aku akan membunuh orang yang menyakitimu’. Setelah
itu Nabi SAW mendoakan Zubair dan pedangnya.”
Hisyam meriwayatkan dari ayahnya, Urwah, “Postur
tubuh Zubair tinggi, sampai-sampai kedua kakinya menyentuh tanah saat sedang
naik tunggangannya. Ibunya, Shafiyah, mendidiknya dengan pola didik yang keras.
Dia juga seorang anak yatim. Ketika ada yang bertanya kepadanya, ‘Apakah kamu
akan mencelakakan dan membunuhnya?’ Ibunya berkata,
‘Aku mendidiknya dengan keras agar
dia beradab
dan menjadi memimpin pasukan yang
gagah berani’.”
Urwah berkata, “Suatu hari tangan Zubair terluka,
dan hal ini diberitakan kepada Shafiyah, maka Shafiyah berkata,
‘Bagaimana kamu mendapati bulu
unta?
Apakah ia itu kucing, macan, atau
elang yang terbang dengan cepat’?.”
Hisyam bin Urwah meriwayatkan dari Ayahnya, ia
berkata, “Pada waktu perang Badar, Zubair memakai serban berwarna kuning, lalu
turunlah Jibril menyerupai Zubair.”
Ketika memberikan sanjungan kepada Zubair, Amir bin
Shaleh bin Abdullah bin Zubair berkata dalam bait syairnya,
Kakekku adalah putra bibinya Ahmad
dan penolongnya
Ketika musibah dan ksatria yang
gagah berani
Dialah satria berkuda yang pertama
kali di perang Badar
Menyaksikan pertempuran dengan
memakai serban kuning
Malaikat turun dalam jelamaannya
sebagai pertolongan
Di medan pertempuran pada saat musuh berkumpul
Thalhah
dan Zubair, keduanya mempunyai banyak persamaan dalam aliran kehidupan.
Persamaan itu antara lain sejak pertumbuhannya di masa remaja, kekayaan,
kedermawanan, keteguhan dalam beragama dan kegagahan-keberananian. Keduanya
termasuk orang-orang angkatan pertama masuk Islam dan tergolong kepada sepuluh
orang yang diberi kabar gembira oleh Rasulullah saw masuk surga. Keduanya juga
sama termasuk kelompok shahabat, ahli musyawarah yang enam, yang diserahi tugas
oleh Umar bin Khattab memilih khalifah sepeninggalnya. Akhir
hayatnya juga bersamaan secara sempurna, bahkan satu sama lain tidak berbeda.
Thalhah dan Az Zubair
termasuk dalam rombongan pertama yang masuk Islam, dan sebagai perintis yang
telah memainkan peranan yang penuh berkat di rumah Al Arqam. Usia Az
Zubair waktu itu baru lima belas tahun. Dia adalah seorang penunggang kuda dan
pemberani sejak kecilnya. Dia adalah orang yang menghunuskan pedang pertama
kali untuk membela Islam.
Pada hari-hari pertama
dari Islam, saat itu jumlah kaum muslimin masih sedikit sekali, hingga mereka
selalu bersembunyi-sembunyi di rumah Arqam, tiba-tiba pada suatu hari tersebar
bahwa Rasul terbunuh. Ketika itu, Az Zubair menghunus pedang dan
mengacungkannya, lalu ia berjalan di jalan-jalan kota Mekkah, padahal usianya
masih muda belia. Ia pergi meneliti berita tersebut dengan bertekad seandainya
berita itu ternyata benar, maka niscaya pedangnya akan menebas leher
orang-orang kafir Quraisy sehingga ia mengalahkan mereka, atau mereka
menewaskannya.
Az
Zubair adalah seorang bangsawan terpandang dalam kaumnya, namun ia juga
menanggung penderitaan akibat penyiksaan orang kafir Quraisy. yang dipimpin
pamannya sendiri. Dia pernah disekap di suatu kurungan, kemudian dipenuhi
dengan hembusan asap api agar sesak nafasnya, lalu dipanggilnya Az Zubair di
bawah tekanan siksaan itu: ”Tolaklah olehmu Tuhan Muhammad itu, nanti kulepaskan
kamu dari siksa ini.” Tantangan itu dijawab oleh Zubair dengan pedas dan
mengejutkan: ”Tidak, demi Allah, aku tak akan kembali kepada kekafiran untuk
selama-lamanya!” Padahal pada waktu itu ia masih sangat belia.
Az
Zubair ikut berhijrah ke Habsyi (Ethiopia) dua kali, yang pertama dan yang
kedua Setelah kembali dari hijrah kedua, ia
menyertai semua peperangan bersama Rasulullah saw. Jabir berkata, “Rasulullah SAW pernah
bersabda pada saat perang Khandaq, ‘Siapa yang mau menyelidiki bani Khuraidah?’ Zubair berkata, ‘Aku’. Lalu dia pergi dengan kudanya dan
datang memberikan kabar tentangnya. Kemudian Rasulullah bertanya untuk kedua
kalinya, lalu Zubair menjawab, ‘Aku’.’ Lalu dia berlalu. Begitu juga untuk yang
ketiga kalinya. Nabi SAW pun bersabda, ‘Setiap nabi mempunyai pengikut dan
pengikutku adalah Zubair’.” Ia
tak pernah ketinggalan dalam beperang atau bertempur. Banyaknya tusukan dan
luka-luka yang terdapat pada tubuhnya dan masih berbekas sesudah lukanya itu
sembuh membuktikan pula kepahlawanan dan keperkasaannyanya. Diriwayatkan dari Tsauri, ia berkata, “Tiga orang sahabat
yang sangat pemberani adalah Hamzah, Ali, dan Zubair.” Salah
seorang shahabatnya yang telah kenyaksikan bekas-bekas luka yang terdapat pada
segenap bagian tubuhnya, berkata: ”Aku pernah menemani Az Zubair Ibnul ’Awwam
pada sebagian perjalanan dan aku melihat tubuhnya, maka aku saksikan banyak
sekali bekas luka goresan pedang, sedang di dadanya terdapat seperti mata air
yang dalam, menunjukkan bekas tusukan lembing dan anak panah. maka kukatakan
kepadanya: ”Demi Allah, telah kusaksikan sendiri pada tubuhmu apa yang belum
pernah kulihat pada orang lain sedikitpun!” Mendengar itu Zubair menjawab:
”Demi Allah, semua luka-luka itu kudapat bersama Rasulullah saw pada peperangan
di jalan Allah!”
Ketika
perang Uhud selesai dan pasukan Quraisy berbalik kembali ke Mekkah, ia diutus
Rasulullah saw bersama Abu Bakar untuk mengikuti gerakan tentara Quraisy dan
menghalau mereka, hingga mereka menganggap kaum Muslimin masih punya kekuatan,
dan tidak terpikir lagi untuk kembali lagi ke Madinah guna memulai peperangan
yang baru. Saat itu Abu Bakar dan Zubair memimpin tujuh puluh orang Muslimin.
Sekalipun
mereka sebenarnya sedang mengikuti suatu pasukan yang menang perang, namun
kecerdikan dan muslihat perang yang dipergunakan oleh Ash Shiddiq, membuat
orang Quraisy menyangka bahwa mereka salah menilai kekuatan kaum Muslimin, dan
membuat mereka salah berfikir, bahwa pasukan perintis yang
dipimpin oleh Az Zubair dan Ash Shiddiq dan tampak kuat, dan tampak sebagai
pasukan pendahulu dari bala tentara Rasulullah saw yang menyusul di belakang,
dan akan tampil menghalau mereka dengan kekuatan dahsyat. Karena itu
mereka bergegas mempercepat perjalanannya dan bersegera pulang ke Mekkah.
Pada
Pertempuran Yarmuk, Az Zubair merupakan seorang prajurit yang memimpin langsung
suatu pasukan. Sewaktu ia melihat sebagian besar anak buah yang dipimpinnya
merasa gentar mengahadapi bala tentara Romawi yang jumlahnya berlipat ganda
bergerak maju, ia meneriakkan: ”Allahu Akbar” dan maju membelah pasukan musuh
yang mendekat. Seorang diri ia menyerang dengan mengayunkan pedangnya, kemudian
ia kembali ke tengah-tengah barisan musuh yang dahsyat itu dengan pedang
ditangan kanannya.
Az Zubair ra sangat
merindukan syahid. Bahkan ia pernah berkata: ”Thalhah bin Ubaidillah
memberi nama anak-anaknya dengan nama Nabi-nabi padahal sudah sama diketahui
bahwa tak ada nabi lagi sesudah nama Muhammad saw, maka aku menemai anak-anakku
dengan nama para syuhada, semoga mereka berjuang mengikuti syuhada”.
Di antara anaknya
diberi nama Abdullah, sebagaimana Abdullah bin Jahsy yang telah mati syahid, al
Munzir sebagaimana Al Mundzir bin Amar yang telah syahid, Urwah sebagaimana
Urwah bin Amar, Hamzah sebagaimana Hamzah bin Abdul Muthalib yang telah syahid,
Ja’far sebagaimana Ja’far bin Abu Thalib yang telah syahid, mush’ab sebagaimana
Mush’ab bin Umair yang telah mati syahid, dan juga Khalid sebagaimana Khalid
bin Sa’id yang juga telah mati syahid.
Az
Zubair telah menjalani kehidupannya dengan sempurna dengan senantiasa berperang
di jalan Allah. Dia menyaksikan perang Uhud, dan menyaksikan pula pamannya,
Hamzah terbunuh serta mayatnya dicincang oleh orang kafir Quraisy.
Dalam
perang melawan Yahudi Bani Quraidhah, Az Zubair berdiri di depan benteng musuh
yang kuat dengan mengatakan: ”Demi Allah, biar kami rasakan sendiri apa yang
dirasakan Hamzah, atau kalau tidak akan kami tundukkan benteng mereka!”
Kemudian Az Zubair dan Ali bin Abi Thalib terjun ke benteng musuh dan berhasil
menebarkan rasa takut pihak musuh, sampai akhirnya musuh membukakan pintu-pintu
benteng tersebut.
Dalam
perang Hunain, Az Zubair menyerbu pasukan Hawazin yang dipimpin Malik bin Auf
seorang diri dan berhasil memporak-porandakan kesatuan mereka. Rasulullah
saw pun memuji kepadanya: ”Setiap nabi mempunyai pembela dan pembelaku adalah
Az Zubair bin Awwam.”
Dalam
perang Jamal, Az Zubair dan juga Thalhah berada dipihak Aisyah, penentang Ali
bin Abi Thalib, sehingga akhirnya keduanya menyadari kebenaran ada dipihak Ali
dan keduanya pun berlepas diri dari peperangan. Maka seorang pembunuh yang
curang berhasil membunuhnya pada waktu dia shalat. Pembunuh tersebut menghadap
kepada Ali bin Abi Thalib dengan senang hati sambil membawa pedang Az Zubair
yang dirampasnya.
Namun
Ali mengusir pembunuh tersebut dengan berkata: ”Sampaikan berita kepada
pembunuh putera Ibu Shafiyah itu, bahwa untuknya telah disediakan api neraka.”
Ali pun mencium pedang Az Zubair sambil menangis dan berkata: ”Demi Allah,
pedang ini sudah banyak berjasa, dipergunakan oleh pemiliknya untuk melindungi
Rasulullah dari marabahaya.” Ali mengatakan pula: ”Selamat dan bahagia
bagi Az Zubair dalam kematian sesudah mencapai kejayaan hidupnya.”
Sifat
Zubair bin Awwam Zubair bin Awwam juga merupakan
seorang yang terhormat dan mulia, selalu menginfakkan hartanya di jalan Allah,
Ka’ab berkata tentangnya,“Az-Zubair memiliki 1000 macam kekayaan yang
dikeluarkan untuk berperang, dan tidak ada uang satu dirhampun yang masuk
kerumahnya," (maksudnya hartanya disedekahkan seluruhnya), beliau mensedekahkan
seluruh hartanya sampai ia mati dalam keadaan berhutang, dan mewasiatkan kepada
anaknya untuk membayarkan hutangnya, dan beliau berkata kepadanya,“jika engkau
tidak sanggup membayar hutang saya, maka mintalah tolong kepada Tuanku,”
Abdullahpun bertanya,“Siapakah yang engkau maksud dengan Tuan?" beliau
menjawab,"Allah, Dialah sebaik-baik pemimpin dan penolong.” Lalu setelah
itu Abdullah berkata,“Demi Allah saya tidak pernah mengalami kesusahan dalam
membayar hutangnya, kecuali saya berkata,'Wahai Pemimpin/pemilik Zubair
bayarlah hutang Zubair,' maka Diapun menggantinya." (Al-Bukhari). Walaupun
beliau selama hidupnya selalu bersama Rasulullah saw namun beliau tidak banyak
meriwayatkan haditsnya kecuali sedikit, anaknya Abdullah pernah bertanya akan sebab
tersebut, maka diapun berkata,“Walaupun antara saya dan Rasulullah saw memiliki
hubungan keluarga dan kerabat namun saya pernah mendengar beliau pernah
bersabda,'Barangsiapa yang berkata dusta atasku dengan sengaja, maka akan
ditempatkan di neraka.'” (Al-Bukhari). Karena itu dia sangat takut meriwayatkan
hadits yang tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah saw sehingga tergelincir ke
dalam neraka. Dia
juga seorang hartawan dengan kekayaan yang melimpah, yang semuanya dibelanjakan
untuk membela Islam, sehingga pada waktu kematiannya, ia meninggalkan hutang.
Iapun sempat berpesan kepada Abdullah, anaknya ”Bila aku tak mampu membayar
hutang, minta tolonglah kepada maulana (tuan kita)!” Abdullah bertanya ”Maulana mana
yang ayah maksud?” Az Zubair menjawab ”Allah, maulana dan
penolong kita yang paling utama.”
Redaktur :
Gilang Ramadhan
0 komentar:
Posting Komentar