
Alhamdulillah
wa shalatu wa salamu ala Rasulillah wa alaa aalihi wa shahbihi
wa man waa laah. Wa ba’du.
Saya
sangat senang bertemu dengan antum sebagai tokoh dakwah, yang memimpin
aktifitas pembinaan, dan merupakan ujung tombak pelaksanaan tarbiyah,
yang mengkader dan membentuk karakter seorang Muslim. Apa yang antum
lakukan adalah asset besar dalam kebangkitan Islam di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Apa yang antum lakukan adalah sarana paling efektif untuk merealisir tujuan dakwah kita
dalam membangun umat ini. Perlu antum ketahui, bahwa perang sejati yang
kita hadapi hari ini medannya adalah jiwa. Dan karenanya, gerak yang kita
lakukan adalah diawali dengan membentuk dan membina pribadi seseorang.
Yang kita hadapi adalah, bagaimana kita bisa mencetak kader, di samping
banyak menghadapi ragam problematika.
Sementara kita
tidak mungkin bisa menghadapi permasalahan besar itu, tanpa kita
berhasil membentuk karakter Islam dari orang-orang yang kita bina. Sebab
itulah, medan pertama dalam kebangkitan umat yang harus kita tempuh adalah
medan pembinaan, baik secara akidah, akhlak, pemikiran, ruhani, fisik,
ekonomi, seni, agar kelak muncul orang-orang yang mampu menghadapi
tantangan besar yang dihadapi umat Islam.
Ikhwah sekalian, Jadi, medan utama kita dalam kebangkitan ini adalah
kaderisasi. Dan ruang lingkupnya adalah bagaimana kita membentuk orang agar
bisa menanggung misi kebangkitan ini secara komprehensif. Kebangkitan ini
hanya bisa dilakukan dengan suatu barisan yang utuh, terdiri dari
orang-orang yang saling menguatkan, yang percaya dengan pemimpinnya,
barisan yang anti terhadap perpecahan, barisan yang mampu
menghadapi tantangan, barisan yang mampu memimpin umat Islam, dan terus
melakukan perubahan demi perubahan. Perubahan yang kita inginkan, yamg
paling pertama adalah bagaimana kita bisa memiliki shaff dengan karakter
seperti itu.
Dengan
kata lain, shaff yang mampu menghadapi setiap masalah dengan ruh ukhuwwah,
rasa cinta, rasa persaudaraan, yang tinggi. Di sinlah kita membutuhkan
pemahaman tentang fiqh ukhuwwah.
Bisa saja dalam melewati ragam problematika di jalan ini, ragam proyek Islam
yang dilakukan, baik di bidang tarbiyah, politik, ekonomi, di manapun, akan
mempengaruhi beberapa sikap lupa terhadap masalah prinsip, masalah yang
mendasar terkait dengan keterikatan seorang anggota dengan keterikatannya
terhadap asasi, terkait ikatannya
dengan barisan dakwah.Tapi kita tetap
membutuhkan barisan yang kuat, artinya kuat karena ruh ukhuwwah.
Ikatan ukhuwah yang terjalin di atas akal dan hati, rasio dan emosi. Bukan
sekedar ikatan artifisial, bukan hanya keterikatan fisik atau bahkan
sekedar keanggotaan partai atau jamaah saja. Keterikatan kita dalam barisan
ini, sekali lagi adalah ikatan keimanan yang ada di atas akal dan hati kita.
Ikhwah rahimakumullah, Persaudaraan dan ukhuwwah yang kita wujudkan dalam
barisan ini, adalah persaudaraan yang menembus ruang waktu hidup kita.
Karena persaudaraan ini akan kita bawa hingga ke akhirat. Dan karenanya,
persaudaraan kita ini adalah persaudaraan karena Allah swt. Bukan karena
yang lainnya. Bangunan jamaah yang memiliki karakter persaudaraan seperti
inilah, yang akan mampu menghadapi serangan apapun dari luarnya.Bangunan
ukhuwwah yang kokoh, yang mampu menghadapi ragam tantangan apapun.
Tantangan
yang akan kita hadapi, meskipun besar, akan menjadi ringan bila kita
hadapi dengan ukhuwwah. Justru tatkala kita memiliki ukhuwwah yang baik,
sebuah tantangan yang diarahkan kepada kita akan memperkuat kita sendiri.
Sebagaimana virus tertentu bisa diberikan dan memperkuat tubuh.
Sebagaimana juga, bila tubuh kuat, maka tubuh mampu menolak virus dari
luar. Sedangkan bila tubuh ini lemah, apalagi ia mengalami penyakit yang
mengilangkan imunitas tubuh, maka penyakit dan virus yang sedikit sekalipun
akan bisa melumpuhkannya.
Sekali
lagi, ikhwah sekalian. Kekuatan kita adalah karena ukhuwwah yang kita miliki.
Sebagaimana Imam Hasan Al Banna rahimahullah mengatakan, ”Asasu
da’watina al hubbu fillah wa tarahum.” Landasan dakwah kita adalah cinta
karena Allah dan kasih sayang. Cinta karena Allah adalah naungan tempat
kita semua bernaung. Kata-kata al hubbu fillah (cinta karena Allah) bukan
sekedar kata-kata, bukan hanya ucapan, tidak sekedar syiar simbol yang
digaungkan oleh kita.
Tapi
cinta karena Allah, persaudaraan karena Allah, merupakan tuntutan yang
harus ditunaikan konsekwensinya. Siapapun yang mengatakannya, harus tahu
tuntutan konsekwensi kata-kata itu. Filosofi persaudaraan karena Allah itu
sesungguhnya merupakan ikatan yang sudah ada di langit sebelum
kita dipertemukan di bumi ini.
Ikhwah
rahimakumullah, Allah swt menyaksikan apa yang kita katakan, apa yang kita
ucapkan. Bila ada kata-kata yang keluar dari pernyataan kita, bila ada
yang keluar dari mulut kita, Allah menyaksikan apakah kita jujur atau
tidak. Setiap segala sesuatu itu ada hakikatnya, dan hakikat harus bisa
diterjemahkan dalam kenyataan. Sayyid Quthb rahimahullah mengatakan, “Al
ukhuwah fillah, laa yadzuuquha illa man dzaaqaha.” Ukhuwwah di jalan
Allah, tak bisa dirasakan kenikmatannya kecuali orang yang telah
merasakan nikmatnya.
Rasulullah
Muhammad saw, menjadikan Al Quran ini hidup dalam hati setiap muslim. Dia
mencetak bagaimana para sahabatnya hidup dalam suasana saling cinta karena
Allah swt. Mereka bila mengucapkan sesuatu, maka kalimat itu harus
terwujud dalam realitas. Lihatlah bagaimana para sahabat berinteraksi
sesama mereka dengan cinta dan ukhuwwah. Meskipun ada perselisihan di
antara mereka, tapi perselisihan itu tidak merusak kasih sayang yang
ada di antara mereka.
Begitulah,
Allah sudah menanamkan kasih sayang dalam jiwa mereka.
Sehingga sesungguhnya yang menjadi masalah bukan pada masalah yang
diperselisihkan, tapi pada kedengkian yang muncul dan ada dalam jiwa
orang-orang yang berselisih itu. Sedangkan di bawah naungan cinta, kita
bukan tidak akan pernah berselisih, melainkan kita akan mengerti bagaimana
kita ketika berselisih, bagaimana jika kita berdiskusi, bagaimana
jika kita harus beradu argumentasi, dan sebagaimananya. Islam mengajarkan
kita untuk menjadikan cinta karena Allah yang mengikat dalam setiap
perbuatan.
Sesungguhnya, sikap paling buruk adalah bila kita menguliti pakaian saudara
kita. Karena di sana kita berarti membuka dan membongkar aib saudara kita.
Bahkan Allah swt mengistilahkan orang yang mengeluarkan kata-kata
menyakiti terhadap saudaranya, dalam ghibah, seperti memakan bangkai
saudaranya yang sudah mati. Istilah ”memakan bangkai saudara yang sudah
mati”, itu lebih menyakitkan dan lebih ganas ketimbang memakan saudara
yang masih hidup. Karena di saat saudara kita mati, dan tidak biasa melakukan
apa-apa, kita masih melakukan tindakan yang menyakitinya.
Rasulullah
saw pun menyebutkan ada karakter jahiliyah dalam diri sahabatnya. Ketika
salah seorang sahabat memanggil Bilal bin Rabah dengan sebutan si anak
budak hitam. Rasulullah saw marah dan mengingatkan pelakunya dengan
mengatakan, ”innaka umru'un fika jahiliyyah” yang artinya engkau adalah
seorang Muslim yang dalam dirimu masih ada sisa-sisa jahiliyah.
Ukhuwwah
karena Allah adalah kenikmatan yang hadir karena keimanan. Ukhuwwah akan
terhalang bila tanpa keimanan. Sama dengan hadits yang menceritakan bahwa
seorang mukmin tidak akan berzina, ketika dia beriman. Seorang mukmin
tidak akan meminum khamar dalam kondisi dia beriman. Demikian juga,
seorang mukmin takkan menyakiti saudaranya dan takkan menodai
persaudaraannya sesama mukmin bila dia beriman.
Seperti
itulah ukhuwwah. Ketika seseorang telah bicara tentang keburukan saudaranya,
berarti keimanannya telah rusak. Dan berarti ia berdusta ketika
kita mengatakan, engkau adalah saudaraku di jalan Allah. Karena kata-kata
itu harus ada konsekwensinya. Mungkin saja karena kita tidak tahu apa arti
ukhuwwah, apa fiqih ukhuwwah. Padahal noda yang sedikit bisa merusak air
yang banyak. Sebab nila setitik rusak susu sebelanga. Kata-kata yang
sedikit, bisa saja akibatnya sangat membahayakan dan menghancurkan keseluruhan yang baik.
Ikhwah sekalian, Sebagai Muslim, ketika ingin mengatakan sesuatu kita
harus menghadirkan niat, apakah Allah swt ridha dengan amal kita, dengan
kata-kata kita, pekerjaan kita. Ini harus dilakukan agar kita bisa
mengontrol kata-kata yang kita keluarkan. Sebagaimana ucapan seorang
sahabat yang menyebutkan, ”Sejak aku baiat kepada Rasulullah tak pernah
keluar dari mulutku kecuali, setiap aku ingin bicara tertahan
lebih dahulu, dan aku pertimbangkan apa akibatnya.” Itulah yang terjadi
dalam sejarah kaum muslimin. Ketika ada orang-orang munafiqin yang memindahkan isu-isu negatif
dengan mulut mereka, Allah swt menyebutkan orang munafiqin itu menganggap
apa yang mereka katakan itu ringan saja. Padahal kata-kata mereka itu
sangat berat dosanya di sisi Allah swt.
Ketika
kita ingin mengatakan satu kata, kita harus mengevaluasi kata itu
apakah perkataan itu membuat murka Allah, atau diridhai Allah. Bukankah
tujuan kita dalam hidup ini, adalah bagaimana supaya Allah ridha. Jika
kita mendapat ridha Allah, berarti kita menjadi orang yang menang. Apa
artinya kita dalam barisan dakwah tapi Allah tidak ridha dan berarti kita
bukanlah orang yang menang. Ukhuwwah karena Allah tidak bisa ditunjukkan
sekedar kita menunjukkan kartu nama anggota partai atau jamaah tertentu.
Tapi harus dibuktikan dengan amal, diiringi keikhlasan, yang tidak menodai
ukhuwwah itu sendiri. Ikhwah sekalian, Ada penafsiran yang menarik
tentang firman Allah swt, ”Law anfaqta maa fil ardhi jami’an maa allafta
bina qulubihim.. ” Jika engkau infaqkan semua yang ada di bumi ini, takkan
mampu mengikat hati manusia. Karena sesungguhnya, Allah swt menanamkan
dalam diri Rasulullah dan kaum mukminin, sehingga Allah lah yang mengikat
hati di antra mereka. Ikatan ini tidak bisa diwujudkan oleh para pakar,
orang pintar di zaman jahilihah, bagaimana bisa menghimpun hati orang
orang Arab di zaman itu.
Menghimpun
hati tak bisa dilakukan kecuali oleh Allah swt. Karena Allah yang telah
meletakkan dunia dan seisinya dalam genggaman Nya,
lalu Dia-lah yang menggabungkan hati dari makhluk-Nya itu ke seluruh
kekuasaan-Nya. Tidak mungkin hati orang disatukan dengan harta. Harta
tidak mungkin menjadi simpati bagi hati, harta hanya bisa untuk
memperbanyak uang yang mungkin letaknya dalam kantung. Harta tidak bisa
mengikat hati ini, kecuali Allah swt saja.
Kecintaan
dan kasih sayang antara orang mukmin, selain merupakan karunia Allah swt, juga
merupakan modal yang sangat penting sehingga Rasulullah bisa memimpin
mereka dalam misi dakwah. Andai tanpa cinta dalam hati sahabat, mustahil
orang-orang Arab bisa dipimpin untuk bisa ikut menyiarkan dakwah
Islam. Kecintaan dalam hati para anggota atau kader dakwah adalah adalah
aset utama dalam dakwah ini. Sebagaimana keberhasilan dakwah Rasulullah,
sebab utamanya adalah bagaimana kecintaan dan persaudaraan karena Allah
yang ada di antara mereka. Kalau hati sudah saling cinta, orang akan mudah
dipimpin. Kalau hati saling benci, pemimpin akan gagal, meskipun hartanya
banyak dan skill manajemennya baik sekalipun.
Orang bahkan tidak mau bila ditawari surga, bila cara menyampaikannya tidak
dengan rasa cinta. Ini adalah fitrah Allah yang tidak berubah. Karena itu,
memimpin manusia, itu punya kunci. Siapapun yang mempunyai kunci itu, bisa
memimpin manusia, tahu rahasianya, dan sekaligus tahu bagaimana memimpin
orang tersebut. Allah menjadikan hati yang lembut dan ukhuwwah antara
sahabat sebagai sebab kemenangan dakwah.
Ruh dan jiwa ini, sebagaimana dikatakan dalam Rasulullah saw, laksana
pasukan yang dikerahkan, ”al arwaahu junuddun mujannadah. maa ta’arafa
minha italaf wa ma tanafara minha ikhtalaf.” Ruh-ruh itu seperti pasukan
tentara yang dikerahkan, yang saling kenal akan mudah akrab dan yang tidak
dikenal akan cenderung saling menjauh“ (HR. Muslim). Ada sebuah kisah tentang
seorang perempuan muhajirah yang memiliki karakter suka mengeluarkan
kata-kata lucu, menghibur. Perempuan ini ketika tiba di Madinah bertemu
dengan wanita yang sama karakternya, yakni suka melucu dan menghibur. Di
sanalah dia tinggal. Dia tidak mengenal orang itu, tapi jiwanya
tergiring untuk bertemu dengan orang yang seperti itu. Ketika mendengar
hal itu, Aisyah ra mengatakan, ”Benarlah kekasihku Rasulullah saw, ruh ruh
itu seperti pasukan yang dikerahkan... ”
Percayalah nilai ukhuwwah lebih tinggi dihadapan Allah SWT. terkadang emosi menguasai diri kita, emosi itulah yang menjadikan kita melupakan sebuah ukhuwwah yang merupakan bagian cinta karena Allah , menyayangi saudara kita dan tabayyun atas setiap berita juga merupakan nilai ukhuwwah yang harus selalu kita jaga dan tingkatkan.
Redaktur : Gilang Ramadhan
Redaktur : Gilang Ramadhan
0 komentar:
Posting Komentar