Selasa, 04 Juni 2013

Cinta Karena Allah, Pilar Kekuatan ISLAM Part. 1


Alhamdulillah wa shalatu wa salamu ala Rasulillah wa alaa aalihi wa shahbihi wa man waa laah. Wa ba’du.

Saya sangat senang bertemu dengan antum sebagai tokoh dakwah, yang memimpin aktifitas pembinaan, dan merupakan ujung tombak pelaksanaan tarbiyah, yang mengkader dan membentuk karakter seorang Muslim. Apa yang antum lakukan adalah asset besar dalam kebangkitan Islam di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Apa yang antum lakukan adalah sarana paling efektif untuk merealisir tujuan dakwah kita dalam membangun umat ini. Perlu antum ketahui, bahwa perang sejati yang kita hadapi hari ini medannya adalah jiwa. Dan karenanya, gerak yang kita lakukan adalah diawali dengan membentuk dan membina pribadi seseorang. Yang kita hadapi adalah, bagaimana kita bisa mencetak kader, di samping banyak menghadapi ragam problematika. 


Sementara kita tidak mungkin bisa menghadapi permasalahan besar itu, tanpa kita berhasil membentuk karakter Islam dari orang-orang yang kita bina. Sebab itulah, medan pertama dalam kebangkitan umat yang harus kita tempuh adalah medan pembinaan, baik secara akidah, akhlak, pemikiran, ruhani, fisik, ekonomi, seni, agar kelak muncul orang-orang yang mampu menghadapi tantangan besar yang dihadapi umat Islam.


Ikhwah sekalian, Jadi, medan utama kita dalam kebangkitan ini adalah kaderisasi. Dan ruang lingkupnya adalah bagaimana kita membentuk orang agar bisa menanggung misi kebangkitan ini secara komprehensif. Kebangkitan ini hanya bisa dilakukan dengan suatu barisan yang utuh, terdiri dari orang-orang yang saling menguatkan, yang percaya dengan pemimpinnya, barisan yang anti terhadap perpecahan, barisan yang mampu menghadapi tantangan, barisan yang mampu memimpin umat Islam, dan terus melakukan perubahan demi perubahan. Perubahan yang kita inginkan, yamg paling pertama adalah bagaimana kita bisa memiliki shaff dengan karakter seperti itu.


Dengan kata lain, shaff yang mampu menghadapi setiap masalah dengan ruh ukhuwwah, rasa cinta, rasa persaudaraan, yang tinggi. Di sinlah kita membutuhkan pemahaman tentang fiqh ukhuwwah.

Bisa saja dalam melewati ragam problematika di jalan ini, ragam proyek Islam yang dilakukan, baik di bidang tarbiyah, politik, ekonomi, di manapun, akan mempengaruhi beberapa sikap lupa terhadap masalah prinsip, masalah yang mendasar terkait dengan keterikatan seorang anggota dengan keterikatannya terhadap asasi, terkait ikatannya dengan barisan dakwah.Tapi kita tetap  membutuhkan barisan yang kuat, artinya kuat karena ruh ukhuwwah. Ikatan ukhuwah yang terjalin di atas akal dan hati, rasio dan emosi. Bukan sekedar ikatan artifisial, bukan hanya keterikatan fisik atau bahkan sekedar keanggotaan partai atau jamaah saja. Keterikatan kita dalam barisan ini, sekali lagi adalah ikatan keimanan yang ada di atas akal dan hati kita.



Ikhwah rahimakumullah, Persaudaraan dan ukhuwwah yang kita wujudkan dalam barisan ini, adalah persaudaraan yang menembus ruang waktu hidup kita. Karena persaudaraan ini akan kita bawa hingga ke akhirat. Dan karenanya, persaudaraan kita ini adalah persaudaraan karena Allah swt. Bukan karena yang lainnya. Bangunan jamaah yang memiliki karakter persaudaraan seperti inilah, yang akan mampu menghadapi serangan apapun dari luarnya.Bangunan ukhuwwah yang kokoh, yang mampu menghadapi ragam tantangan apapun.

Tantangan yang akan kita hadapi, meskipun besar, akan menjadi ringan bila kita hadapi dengan ukhuwwah. Justru tatkala kita memiliki ukhuwwah yang baik, sebuah tantangan yang diarahkan kepada kita akan memperkuat kita sendiri. Sebagaimana virus tertentu bisa diberikan dan memperkuat tubuh. Sebagaimana juga, bila tubuh kuat, maka tubuh mampu menolak virus dari luar. Sedangkan bila tubuh ini lemah, apalagi ia mengalami penyakit yang mengilangkan imunitas tubuh, maka penyakit dan virus yang sedikit sekalipun akan bisa melumpuhkannya.

Sekali lagi, ikhwah sekalian. Kekuatan kita adalah karena ukhuwwah yang kita miliki. Sebagaimana Imam Hasan Al Banna rahimahullah mengatakan, ”Asasu da’watina al hubbu fillah wa tarahum.” Landasan dakwah kita adalah cinta karena Allah dan kasih sayang. Cinta karena Allah adalah naungan tempat kita semua bernaung. Kata-kata al hubbu fillah (cinta karena Allah) bukan sekedar kata-kata, bukan hanya ucapan, tidak sekedar syiar simbol yang digaungkan oleh kita.


Tapi cinta karena Allah, persaudaraan karena Allah, merupakan tuntutan yang harus ditunaikan konsekwensinya. Siapapun yang mengatakannya, harus tahu tuntutan konsekwensi kata-kata itu. Filosofi persaudaraan karena Allah itu sesungguhnya merupakan ikatan yang sudah ada di langit sebelum kita dipertemukan di bumi ini.

Ikhwah rahimakumullah, Allah swt menyaksikan apa yang kita katakan, apa yang kita ucapkan. Bila ada kata-kata yang keluar dari pernyataan kita, bila ada yang keluar dari mulut kita, Allah menyaksikan apakah kita jujur atau tidak. Setiap segala sesuatu itu ada hakikatnya, dan hakikat harus bisa diterjemahkan dalam kenyataan. Sayyid Quthb rahimahullah mengatakan, “Al ukhuwah fillah, laa yadzuuquha illa man dzaaqaha.” Ukhuwwah di jalan Allah, tak bisa dirasakan kenikmatannya kecuali orang yang telah merasakan nikmatnya.

Rasulullah Muhammad saw, menjadikan Al Quran ini hidup dalam hati setiap muslim. Dia mencetak bagaimana para sahabatnya hidup dalam suasana saling cinta karena Allah swt. Mereka bila mengucapkan sesuatu, maka kalimat itu harus terwujud dalam realitas. Lihatlah bagaimana para sahabat berinteraksi sesama mereka dengan cinta dan ukhuwwah. Meskipun ada perselisihan di antara mereka, tapi perselisihan itu tidak merusak kasih sayang yang ada di antara mereka.


Begitulah, Allah sudah menanamkan kasih sayang dalam jiwa mereka. Sehingga sesungguhnya yang menjadi masalah bukan pada masalah yang diperselisihkan, tapi pada kedengkian yang muncul dan ada dalam jiwa orang-orang yang berselisih itu. Sedangkan di bawah naungan cinta, kita bukan tidak akan pernah berselisih, melainkan kita akan mengerti bagaimana kita ketika berselisih, bagaimana jika kita berdiskusi, bagaimana jika kita harus beradu argumentasi, dan sebagaimananya. Islam mengajarkan kita untuk menjadikan cinta karena Allah yang mengikat dalam setiap perbuatan.


Sesungguhnya, sikap paling buruk adalah bila kita menguliti pakaian saudara kita. Karena di sana kita berarti membuka dan membongkar aib saudara kita. Bahkan Allah swt mengistilahkan orang yang mengeluarkan kata-kata menyakiti terhadap saudaranya, dalam ghibah, seperti memakan bangkai saudaranya yang sudah mati. Istilah ”memakan bangkai saudara yang sudah mati”, itu lebih menyakitkan dan lebih ganas ketimbang memakan saudara yang masih hidup. Karena di saat saudara kita mati, dan tidak biasa melakukan apa-apa, kita masih melakukan tindakan yang menyakitinya.

Rasulullah saw pun menyebutkan ada karakter jahiliyah dalam diri sahabatnya. Ketika salah seorang sahabat memanggil Bilal bin Rabah dengan sebutan si anak budak hitam. Rasulullah saw marah dan mengingatkan pelakunya dengan mengatakan, ”innaka umru'un fika jahiliyyah” yang artinya engkau adalah seorang Muslim yang dalam dirimu masih ada sisa-sisa jahiliyah.

Ukhuwwah karena Allah adalah kenikmatan yang hadir karena keimanan. Ukhuwwah akan terhalang bila tanpa keimanan. Sama dengan hadits yang menceritakan bahwa seorang mukmin tidak akan berzina, ketika dia beriman. Seorang mukmin tidak akan meminum khamar dalam kondisi dia beriman. Demikian juga, seorang mukmin takkan menyakiti saudaranya dan takkan menodai persaudaraannya sesama mukmin bila dia beriman.


Seperti itulah ukhuwwah. Ketika seseorang telah bicara tentang keburukan saudaranya, berarti keimanannya telah rusak. Dan berarti ia berdusta ketika kita mengatakan, engkau adalah saudaraku di jalan Allah. Karena kata-kata itu harus ada konsekwensinya. Mungkin saja karena kita tidak tahu apa arti ukhuwwah, apa fiqih ukhuwwah. Padahal noda yang sedikit bisa merusak air yang banyak. Sebab nila setitik rusak susu sebelanga. Kata-kata yang sedikit, bisa saja akibatnya sangat membahayakan dan menghancurkan keseluruhan yang baik.


Ikhwah sekalian, Sebagai Muslim, ketika ingin mengatakan sesuatu kita harus menghadirkan niat, apakah Allah swt ridha dengan amal kita, dengan kata-kata kita, pekerjaan kita. Ini harus dilakukan agar kita bisa mengontrol kata-kata yang kita keluarkan. Sebagaimana ucapan seorang sahabat yang menyebutkan, ”Sejak aku baiat kepada Rasulullah tak pernah keluar dari mulutku kecuali, setiap aku ingin bicara tertahan lebih dahulu, dan aku pertimbangkan apa akibatnya.” Itulah yang terjadi dalam sejarah kaum muslimin. Ketika ada orang-orang munafiqin yang memindahkan isu-isu negatif dengan mulut mereka, Allah swt menyebutkan orang munafiqin itu menganggap apa yang mereka katakan itu ringan saja. Padahal kata-kata mereka itu sangat berat dosanya di sisi Allah swt.

Ketika kita ingin mengatakan satu kata, kita harus mengevaluasi kata itu apakah perkataan itu membuat murka Allah, atau diridhai Allah. Bukankah tujuan kita dalam hidup ini, adalah bagaimana supaya Allah ridha. Jika kita mendapat ridha Allah, berarti kita menjadi orang yang menang. Apa artinya kita dalam barisan dakwah tapi Allah tidak ridha dan berarti kita bukanlah orang yang menang. Ukhuwwah karena Allah tidak bisa ditunjukkan sekedar kita menunjukkan kartu nama anggota partai atau jamaah tertentu.



Tapi harus dibuktikan dengan amal, diiringi keikhlasan, yang tidak menodai ukhuwwah itu sendiri. Ikhwah sekalian, Ada penafsiran yang menarik tentang firman Allah swt, ”Law anfaqta maa fil ardhi jami’an maa allafta bina qulubihim.. ” Jika engkau infaqkan semua yang ada di bumi ini, takkan mampu mengikat hati manusia. Karena sesungguhnya, Allah swt menanamkan dalam diri Rasulullah dan kaum mukminin, sehingga Allah lah yang mengikat hati di antra mereka. Ikatan ini tidak bisa diwujudkan oleh para pakar, orang pintar di zaman jahilihah, bagaimana bisa menghimpun hati orang orang Arab di zaman itu.

Menghimpun hati tak bisa dilakukan kecuali oleh Allah swt. Karena Allah yang telah meletakkan dunia dan seisinya dalam genggaman Nya, lalu Dia-lah yang menggabungkan hati dari makhluk-Nya itu ke seluruh kekuasaan-Nya. Tidak mungkin hati orang disatukan dengan harta. Harta tidak mungkin menjadi simpati bagi hati, harta hanya bisa untuk memperbanyak uang yang mungkin letaknya dalam kantung. Harta tidak bisa mengikat hati ini, kecuali Allah swt saja.

Kecintaan dan kasih sayang antara orang mukmin, selain merupakan karunia Allah swt, juga merupakan modal yang sangat penting sehingga Rasulullah bisa memimpin mereka dalam misi dakwah. Andai tanpa cinta dalam hati sahabat, mustahil orang-orang Arab bisa dipimpin untuk bisa ikut menyiarkan dakwah Islam. Kecintaan dalam hati para anggota atau kader dakwah adalah adalah aset utama dalam dakwah ini. Sebagaimana keberhasilan dakwah Rasulullah, sebab utamanya adalah bagaimana kecintaan dan persaudaraan karena Allah yang ada di antara mereka. Kalau hati sudah saling cinta, orang akan mudah dipimpin. Kalau hati saling benci, pemimpin akan gagal, meskipun hartanya banyak dan skill manajemennya baik sekalipun.



Orang bahkan tidak mau bila ditawari surga, bila cara menyampaikannya tidak dengan rasa cinta. Ini adalah fitrah Allah yang tidak berubah. Karena itu, memimpin manusia, itu punya kunci. Siapapun yang mempunyai kunci itu, bisa memimpin manusia, tahu rahasianya, dan sekaligus tahu bagaimana memimpin orang tersebut. Allah menjadikan hati yang lembut dan ukhuwwah antara sahabat sebagai sebab kemenangan dakwah.

Ruh dan jiwa ini, sebagaimana dikatakan dalam Rasulullah saw, laksana pasukan yang dikerahkan, ”al arwaahu junuddun mujannadah. maa ta’arafa minha italaf wa ma tanafara minha ikhtalaf.” Ruh-ruh itu seperti pasukan tentara yang dikerahkan, yang saling kenal akan mudah akrab dan yang tidak dikenal akan cenderung saling menjauh“ (HR. Muslim). Ada sebuah kisah tentang seorang perempuan muhajirah yang memiliki karakter suka mengeluarkan kata-kata lucu, menghibur. Perempuan ini ketika tiba di Madinah bertemu dengan wanita yang sama karakternya, yakni suka melucu dan menghibur. Di sanalah dia tinggal. Dia tidak mengenal orang itu, tapi jiwanya tergiring untuk bertemu dengan orang yang seperti itu. Ketika mendengar hal itu, Aisyah ra mengatakan, ”Benarlah kekasihku Rasulullah saw, ruh ruh itu seperti pasukan yang dikerahkan... ”

Percayalah nilai ukhuwwah lebih tinggi dihadapan Allah SWT. terkadang emosi menguasai diri kita, emosi itulah yang menjadikan kita melupakan sebuah ukhuwwah yang merupakan bagian cinta karena Allah , menyayangi saudara kita dan tabayyun atas setiap berita juga merupakan nilai ukhuwwah yang harus selalu kita jaga dan tingkatkan.

Redaktur : Gilang Ramadhan

0 komentar: