Selasa, 04 Juni 2013

Cinta Karena Allah, Pilar Kekuatan ISLAM Part. 2




Ikhwah sekalian, Tiga hal yang menjadi buah dari ukhuwah adalah. Ukhuwwah ini adalah bagian dari keimanan kita dan karena keimanan itu kita menjadi saling merekat. Ukhuwwah adalah senjata qiyadah, dalam mencapai tujuan, dalam merealisasi target. Ukhuwwah juga adalah senjata paling ampuh, untuk menghadapi tantangan dan kesulitan.


Dalam perselisihan yang terjadi antara sahabat ra adalah perselisihan yang memicu sikap saling bunuh di antara mereka, karena masalah ijtihad. Ketika kita mengkaji masalah mereka, kita tidak lebih dominan melihat apa yang mereka perselisihkan, tetapi harus bisa melihat bagaimana caranya mereka keluar dari perselisihan itu, dan bagaimana perselisihan itu tidak merusak kasih sayang di antara mereka. Kita harus melihat kendala apa yang muncul jika ada peristiwa yang kemudian merusak ukhuwwah.

Saya ingin contohkan masalah yang dialami Ali bin Abi Thalib ra. Orang yang sudah pasti kemusliman dan keimanannya. Sudah meyakinkan kapasitas ilmu, akal, ruhani, ibadahnya. Tak ada juga yang meragukan keberanian dan kekuatannya. Akan tetapi sebab musabab yang memunculkan perang shiffin antara kelompok Ali dan Mu’awiyah dipicu oleh informasi dusta yang terus menerus disampaikan oleh kelompok Syiah, sehingga pandangan Ali ra berubah. Syiah adalah kelompok yang mengaku cinta ahlul bait, tapi sebenarnya mereka tidak mencintai seluruh ahlul bait. Ali ra telah dipengaruhi oleh orang-orang syiah. Itu berarti, barisan pengikut Ali tidak lagi memiliki kecintaan terhadap sesama orang beriman di antara mereka.Ali ra terus menerus diprovokasi, dipancing dan dikatakan ”Ali adalah pemberani, tapi tak pandai berperang.”

Ikhwah sekalian, Inti dari tema yang kita bicarakan ini, adalah untuk kalian dan kalian bawa kepada orang-orang yang kalian bina dan kalian pimpin. Kita harus bisa menyampaikan kepada mereka tentang ukhuwwah ini, agar kita bisa menghaluskan yang kasar, dan kita bisa menghilangkan kendala-kendala yang menghalangi jalan kita dalam menghadapi tantangan besar. Kita harus menghadapinya dengan barisan yang saling cinta, yang kuat karena Allah, cinta sejati, bukan sekedar kata kata.

Kita harus mengagungkan nikmat ukhuwah ini ini. Dzauq ukhuwwah (cita rasa ukhuwah), akan menjadi sesuatu yang penting dan sangat dipelihara oleh orang yang sudah merasakannya. Ukhuwwah yang lahir bukan karena satu pendapat, karena ada orang yang menganggap bila ada orang yang beda pendapat denganmu maka dia bukan saudaramu. Ini sangat keliru. Orang yang tidak merasakan dzauq ukhuwwah tidak akan merasakan ukhuwwah itu penting. Tapi kalau yang merasakan dzauq ia akan berusaha memelihara hubungan dengan saudaranya, tak akan menyakiti saudaranya walaupun satu kata.

Peliharalah kalau kita sudah merasakan dzauq ukhuwah. Cari kalau kita belum merasakan dzauq ukhuwwah. Kita cinta kpada Allah, cinta Rasulullah, cinta kaum beriman dan wala kepada mereka. Kita tidak mencintai orang lain karena diri orang itu, tapi kita cinta karena Allah swt. Cinta karena Allah, adalah cara yang paling penting agar kita bisa mensukseskan dakwah ini. Imam Syahid jika bertemu dengan para Ikhwan dalam berbagai pertemuan, kerap menampakkan bagaimana kekagumannya dengan ukhuwwah yang ada di antara ikhwah. Ketika pimpinan melihat bagaimana para ikhwah sangat tinggi ukhuwwahnya, ia mengungkapkan kekaguman itu, ”saya sangat bangga dengan ruh yang bisa menghimpun ikhwan. Karena ukhuwwah ini tidak ada dalam kelompok lain kecuali jamaah Ikhwan.” Imam Al Banna juga mengatakan, bahwa al akh ash shadiq (al akh sejati), adalah orang yang melihat saudaranya, lebih utama dari dirinya. Dirinya dihibahkan untuk berkhidmah pada saudaranya. Al Akh adalah orang yang menanggung beban saudaranya. Seorang Ikhwan bisa saja berjalan bersama orang lain dan keluar dari shaf, tapi ia takkan menemukan hal yang sama sebagaimana ia dapati bersama ikhwan. Kita tidak mengatakan, orang yang keluar dari jamaah ini kafir, tapi ia telah meninggalkan kebaikan besar.


Ketika dalam jamaah ini, seseorang akan merasa hidupnya bernilai, punya tujuan, punya agenda, punya teman teman yang bisa saling mendukung di jalan Allah, yang saling membela. Ia merasakan hidupnya penuh arti. Ketika Hasan bin Ali pernah ingin mengalah dan menyepakati perdamaian dengan Mu’awiyah, ia bersama 12 ribu pasukan yang siap berperang. Tapi kelompok Syiah tidakingin peperangan tidak terjadi. Mereka tidak ingin Hasan bin Ali mengalah. Ketika itulah Hasan bin Ali mengatakan, ”Apa yang kalian benci dalam berjamaah, lebih baik daripada apa yang kalian sukai dalam perpecahan. Karena Tangan Allah bersama jamaah. Perpecahan adalah saudara kufur, kesatuan adalah saudara 


Ikhwah sekalian, Sebelum bicara tentang sarana mewujudkan ukhuwwah, kita juga harus menegaskan bagaimana peran pemimpin dalam menumbuhkan ukhuwwah ini. Kita berqudwah pada Rasulullah saw, di segala hal. Kita tidak berbeda dengan cara Rasulullah. Ketika kita katakan Ar Rasul qudwatuna, kita harus jujur dalam ungkapan ini. Bagaimana cinta sahabat pada Rasulullah saw. Kita semua tahu apa dan bagaimana kecintaan mereka. Sahabat sangat cinta pada pimpinan mereka Rasullullah saw, sangat luar biasa.


Rasul bahkan pernah menguji kecintaan umar. ”Bagaimana kadar cintamu padaku ya Umar?” Sebelum ini, kita sudah menegaskan bahwa cinta di antara anggota akan menolong pimpinan dalam mencapai tujuan yang diinginkanya. Dan dalam hadits ini, Rasulullah menguji kecintaan Umar bin Khattab ra. Umar mengatakan, ”Saya cinta padamu tapi tidak lebih dari cinta pada diri saya.” Rasul memandang Umar dengan pandangan nubuwwah, dan dikatakannya, ”Tidak ya Umar, cinta mu masih kurang....”
Perkataan itu sangat mempengaruhi Umar, hingga Umar kemudian mengatakan, 

”Kecintaanku kepadamu, melebihi kecintaanku pada diriku sendiri.” Setelah itu, Rasul mengatakan, ”Sekarang ya Umar, engkau telah menyempurnakan tingkatan keimanan”.

Ada tiga hal yang harus kita miliki, yakni menghargai, menghormati, dan
mempercayai pimpinan. Ketika Imam Al Banna berbicara tentang tsiqah dengan qiyadah, ia menyampaikan bahwa qiyadah secara pribadi seharusnya memiliki karakter sebagai ustadz dalam hal keilmuan, syaikh dalm hubungan keruhanian, bapak atau orang tua dalam hubungan persaudaraan, dan pemimpin dalam hal organisasi. Kemudian Al Banna mengatakan, bahwa hubungan antara pimpinan kepada anggota, dan sebaliknya, harus dengan penghormatan, penghargaan, dan percaya sehingga tiga hal itu yang menjadi
rukun dalam keberhasilan dakwah ini. Tidak ada jamaah tanpa qiyadah. Ini harus menjadi bekal dalam diri para ikhwah. Inilah yang diajarkan dalam Al Ikhwan Al Muslimun. Kalian adalah orang yang bertanggung jawab dalam kaderisasi, misi kalian adalah sangat penting. Kalian harus bisa memiliki sikap-sikap seperti ini.

Ikhwah sekalian, Ada beberapa sarana mewujudkan ukhuwwah:
Pertama, lakukan segala sesuatu dengan penuh ikhlas. Keikhlasan dalam kecintaan karena Allah. Cinta karena Allah, bukan karena yang lain, bukan karena manfaat, bukan karena harta benda. Hal ini sudah panjang lebar dijelaskan sebelum ini. Tapi saya ingin menjelaskan satu hal penting namun sering dilupakan oleh para ikhwah dalam hal keikhlasan ini, yakni dalam hal membaca wirdu rabithah. Setiap kita hafal wirid ini. Tapi apakah kita paham makna wird rabithah. 

Imam Al Banna, menyampaikan semua yang dilakukannnya, adalah bagian dari manhaj yang saling menyempurnakan. Wirid rabithah adalah wasilah terbesar dalam menumbuhkan ukhuwwah fillah. Maka, sebaiknya kita lakukan dengan resapan makna dan perenungan yang dalam.

Di awal catatannya tentang wirdu rabithah, Imam al Banna mengatakan, agar kita menghadirkan wajah para ikhwan dari yang kita kenal, menghadirkan hubungan batin dengan mereka, bahkan dengan menghadirkan ikhwan di dunia ini yang tidak kita kenal. Kalau kita lakukan hal ini setiap hari, dengan ikhlash, perhatikanlah bagimana cinta ini bisa terus berkembang dan tumbuh sampai kita bisa ada kebaikan pada jamaah dan masyarakat, dan bagi kemanusiaan seluruhnya. Lakukan seluruhnya dengan ikhlash, amal dilakukan hanya dengan keikhlasan.

Dalam hadits riwayat Bukhari, disebutkan ada seorang perempuan pezina yang
menolong memberi minum anjing yang kehausan, lalu kemudian ia masuk surga. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, ia masuk surga karena ia melakukannya, dengan ikhlash dan iman. Itulah yang menyebabkannya masuk surga. Sahabat Rasulullah ada yang meminum khamar, kemudian dicambuk, lalu minum lagi, dicambuk lagi, minum lagi, dicambuk lagi. Seorang sahabat mengatakan, kamu terlaknat karena mengulangi minum khamar. Tapi Rasulullah mengatakan, ”La tal’anhu innahu yuhibbullah wa Rasulullah”. Jangan cerca dia karena sesungguhnya dia cinta kepada Allah dan Rasulullah.

Lakukanlah amal dengan ikhlash, agar Allah memberkahi dan memberi pahala yang berlebih. Inilah sarana paling baik dalam menanamkan ukhuwwah fillah. Bacalah doa rabithah ini dengan ikhlash. Karena biasanya orang sudah melakukan rutinitas ibadah, ia lupa dengan ruhnya, tak ada keikhlasannya. Sebagaimana ada banyak orang yang shalat, tapi ia tetap melakukan kemaksiatan karena lupa dengan substansi dan keikhlasan dalam melakukan shalat.

Imam Hasan Al Banna memisalkan perbedaan iman yang dimiliki para ikhwan
dengan yang lainnya adalah, iman yang dimiliki ikhwan adalah iman yang hidup yang aktif dan sadar. Sedangkan keimanan orang lain banyak yang keimanannya tidur dan pasif, sehingga perlu ada yang membangunkannya terlebih dahulu.

Kedua, Tanashuh wa tawashi. Saling menasihati dan saling mewasiati. Itu sebabnya para sahabat menutup majelisnya dengan membaca surat Al Ashr. Kita sering melakukan itu tapi kita lupa inti artinya. Ini adalah janji antara ikhwah, untuk tawashau bil haq tawashau bi shabr. Sabar untuk sedikitnya orang, banyaknya musuh, jalan yang panjang.
Ini adalah janji, bukan sekedar kata-kata. Nashihah, Musharahah (keterusterangan), mukasyafah (blak-blakan) itu dengan syarat dilakukan dengan adabnya. Semua harus dilakukan dengan etikanya. Baik antar pribadi apalagi dalam sebuah jaamah. Semuanya punya etika, punya koridor, kita adalah jamaah kita punya saluran untuk melakukan nashihah. Nasihat bukanlah kalimat yang disampaikan di sembarang tempat, di manamana.
Ingat, kalimat yang dikeluarkan itu sangat berbahaya. Para penyair menggambarkan ketika kerajaan Bani Umayah hampir hancur dengan ungkapan ”Awal hancurnya adalah kata-kata yang membakar.”

Seorang Ikhwah tidak bicara apapun yang dia pahami. Tapi pembicaraannya, harus dengan cara yang benar, dengan memikirkan akibatnya. Ada kalimat yang bisa mengakibatkan perang, ada perkataan yang bisa menyebabkan pembunuhan, ada yang bisa menyebabkan kehancuran. Ikhwan punya aturan yang menjadikan setiap orang dalam barisan kita bisa menyampaikan pandangannya, apapun yakni dalam usrah. Tapi kita harus juga meyakini bahwa forum usrah adalah amanah. Tidak boleh diumbar keluar pembicaran tentang kekurangan, keluar. Ini adalah keluarga kita, ini adalah masalah kita.
Ingat bahwa usrah ini adalah amanah.

Ketiga, tasamuh wa tarahum. Saling toleran, tetap saling kasih sayang
Ahmad bin Hambal, 90 persen kebaikan akhlak adalah dengan pura pura mengabaikan informasi yang buruk. Kalau kita tidak bisa memberi udzur, kita cari udzur lain untuk saudara kita. Jangan kehabisan udzur untuk saudara kita. Ini adalah manhaj Islam. Kita juga harus mengerti bahwa jalan pikiran seseorang berbeda-beda. Karena itu, dalam jamaah Ikhwan, menentukan pendapat mana yang harus didukung ada pada qiyadah.

Imam Al Banna sejak sejumlah Ikhwah berbaiat kepadanya sudah bertanya, ”Apakah kalian siap mengalah dalam mengikuti masalah ijtihadiyah kepada para qiyadah?” Hak pemimpin adalah menentukan mana dan siapa yang harus diikuti. Dalam majlis syuro setiap orang bisa menyampaikan apa saja, bebas. Tapi kalau syuro sudah menetapkan qarar tidak ada lagi hak pribadi untuk menyampaikan pendapat. Kita harus ridha dengannya.

Keempat, memahami fiqhul ukhuwah. Sebagaimana dijelaskan.

Kelima, pahami fiqih khilaf.
Ada banyak perbedaan. Jika perbedaan dalam masalah fiqih, caranya adalah dengan melihat mana yang paling kuat secara dalil menurut kita. Tapi ada khilaf yang sifatnya duniawi, khilaf siyasi. Khilaf ini, seperti perselisihan yang terjadi di antara para sahabat, setiap mereka berijtihad, mereka ingin menolong Islam dan yakin bahwa pendapat mereka paling benar. Mereka pernah saling keras, tapi kemudian mereka menyesal, dan diriwayatkan Aisyah menangis hingga basah hijabnya.

Keenam, dalami penguasaan fiqih awlawiyat marhalah. Siapa yang menentukan kebijakan? Perselisihan yang terjadi, dalam sejarah dakwah Rasulullah saw ketika perjanjian Hudaibhiyah adalah contoh paling baik bagi kita. Rasululllah sebagai pimpinan memiliki pandangan yang sangat jauh, sedangkan anggotanya ketika itu ada yang memiliki pandangannya pendek. Termasuk Umar bin Khattab. Umar bin Khattab ra, memiliki pandangan tajam dalam berbagai pendapatnya, karena bersesuaian dengan ayat Al Quran (lihat foot note).

Tapi ketika itu karena ditentang oleh Umar ra, Rasul mengatakan, ”Saya adalah Rasulullah saw, Allah tidak akan menyia nyiakan sesuatu. Umar mendebat, bukankah engkau katakan kita akan tawaf? Tapi bukan kah saya tidak tahun ini. Umar bertaubat. Masalah ini wahai ikhwah memerlukan ilmu, dakwah ini adalah ilmu. Jika kita tidak mempunyai ilmu, bisa jadi orang lain lebih jahil dari kalain. Naqib harus terus menerus mengkaji ilmu. Agar bisa memberi, mengenyangkan. Jika pembekalan itu terhenti, kita tidak bisa memberi.

Ketujuh, Irtiqa bi mustawal hiwar. Melihat memiliki seni yang baik dalam dialog. Sebagaimana orang-orang shalih bila berdialog, berdiskusi, bahkan beradu argumen mereka mengatakan, ”Tidaklah aku berdebat dengan seseorang kecuali aku ingin agar kebenaran itu ada pada pihak orang tersebut. Dan aku berdoa agar Allah swt meluruskan dan menajamkan pandangannya dalam masalah itu.” Imam Syafii juga terkenal dengan
prinsipnya, ”Ra’yi shawab yahtamil khata wa rayuhul khata’ yahtamil shawab.”
Pendapat saya benar tapi mungkin salah. Pendapat dia salah tapi mungkin juga benar.

Sikap taashub terhadap pendapat bukan ajaran Islam dan bukan etika ikhwan.
Kedelapan, Do’a untuk qiyadah. Kita seluruhnya bisa saja menjadi qiyadah. Kita punya kedudukan yang sama, karena qiyadah bukan faktor keturunan melainkan diukur dari apa yang dilakukan seseorang ini pada dakwah, pada pemikirannya, pada komitmennya, pada kontribusinya. Kita bila menghormati qiyadah dan meletakkannya pada tempatnya, itu artinya kita menghormati diri sendiri.

Ikhwah sekalian, Ingat bahwa buah ukhuwwah, akan kembali pada diri kita sendiri, pada jamaah, pada masyarakat, dan pada lingkup yang luas dari itu. Jika kita saling mencinta karena Allah, dan kita ikhlash, mudah mudahan itu menjadi bekal kita bisa menggenggam kemenangan dengan dakwah ini.

Redaktur : Gilang Ramadhan


0 komentar: