إِنَّ الَّذِينَ جَاؤُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرّاً لَّكُم بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُم مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنفُسِهِمْ خَيْراً وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُّبِينٌ
لَوْلَا جَاؤُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاء فَأُوْلَئِكَ عِندَ اللَّهِ هُمُ الْكَاذِبُونَ
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيهِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ
وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُم مَّا يَكُونُ لَنَا أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dlm penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Mengapakah di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin & mukminat tak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, & (mengapa tidak) berkata: Ini adalah suatu berita bohong yang nyata?! Mengapa mereka (yang menuduh itu) tak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?! Oleh karena mereka tak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. Sekiranya tak ada karunia Allah & rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia & di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut & kamu katakan dgn mulutmu apa yang tak kamu ketahui sedikit juga, & kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan hal seperti ini.
Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang amat besar.”
[1] Ikhwah wa akhwat Ad-Da’iyyat hafizhakumullah,
Salah satu mawqif (sikap) yang harus kita miliki di dlm mengemban amanah dakwah & jihad menegakkan syari’ah ALLAAH SWT di muka bumi ini adalah sikap ber-husnuzhan (berprasangka baik) kepada saudara kita sesama mu’min -siapapun dia & dari kelompok apapun mereka- sepanjang ia atau mereka dikenal keikhlasannya & perjuangannya utk Islam & meninggikan kalimatuLLAAH, maka hendaklah kita menahan diri dari berprasangka buruk & apalagi sampai memfitnah atau menyebar isu, sebagaimana sabda kekasih kita SAW: “Jauhilah prasangka itu, karena prasangka itu sedusta-dusta ucapan.
”[2] Alangkah banyaknya taujih dari Yang Maha Rahman kepada kita utk bagaimana kita selalu mengedepankan prasangka yang baik & menolak syubuhat yang dituduhkan kepada saudara-saudara kita sesama muslim -siapapun dia & dari kelompok manapun mereka- jika mereka adalah muslim & bukan orang yang menunjukkan sifat-sifat kemunafikan maka baginya haram darah, harta & kehormatannya, sebagaimana dlm hadits shahih dikatakan: “Jangan kalian saling hasad, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi, jangan membeli barang yang sudah dibeli oleh saudaramu, & jadilah kalian hamba-hamba ALLAH yang bersaudara, seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tak boleh menzhalimi & menghina serta mengucilkannya, Taqwa itu disini –sambil beliau SAW menunjuk dadanya 3 kali- cukup disebut seorang itu jahat jika ia menghina saudaranya sesama muslim, setiap muslim atas muslim yang lain haram darahnya, hartanya & kehormatannya.
”[3] Dan jika kita berinteraksi secara mendalam dgn Al-Qur’an, maka akan kita dapatkan bahwa sifat mudah berprasangka itu merupakan watak dari orang-orang yang kafir & munafiq, sebagaimana firman-NYA berkenaan dgn sifat orang-orang kuffar : “… mereka tak lain hanya mengikuti sangkaan-sangkaan, serta apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka …
”[4] Atau firman-NYA dlm ayat yang lain: “Dan mereka tak memiliki suatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tak lain hanya mengikuti persangkaan, sedangkan persangkaan itu tak bermanfaat sedikitpun thd kebenaran.
”[5] Demikian pula La menyebutkan tentang sifat kaum munafiqin yang selalu berprasangka buruk kepada orang-orang yang beriman, & merasa senang jika orang mu’min mendapat fitnah, sebagaimana dlm taujih-NYA: “… & kalian menyangka dgn sangkaan yang buruk sehingga kalian menjadi kaum yang binasa
.”[6] Oleh karena itu, suatu saat sifat akan menghinggapi orang-orang yang beriman jika tak diantisipasi & diluruskan, maka IA Yang maha Rahman-pun mengingatkan kepada hamba2-NYA yang beriman dgn firman-NYA: “Wahai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian besar dari prasangka itu adalah dosa…
”[7] Namun kendatipun demikian, ternyata ada pula kalangan kaum beriman (yang mungkin karena belum mengenal saudaranya ataupun mungkin karena kualitas keimanannya yang belum baik) yang terpengaruh & terjangkiti virus su’uzhan tersebut, bahkan kemudian menelan berbagai isu yang tak baik itu, bahkan ikut menyebar-nyebarkannya tanpa melakukan tabayyun ke sumber pertama & tanpa –setelah tabayyun- menunggu klarifikasi dari sumbernya tersebut: Sebenarnya substansi permasalahannya seperti apa? Ataukah dlm konteks apa hal tersebut terjadi atau kata-kata itu diucapkan? Atau bagaimana dikaitkan dgn pribadi yang menyampaikannya, apakah mungkin dgn segala kapasitas kehidupannya, perjuangannya, konsistensinya dlm dakwah & jihad sampai saat ini ia berani melakukan atau menyampaikan seperti itu? Dst
Ikhwah wa akhawat fiLLAAH a’anakumuLLAAH,
Ketahuilah bahwa hal yang demikian itu pernah terjadi pula pada masa Nabi SAW & bahkan fitnah itu malah menimpa diri pribadi nabi SAW sendiri & keluarganya, yaitu isu yang menerpa salah seorang istri beliau SAW, yaitu Ummul Mu’minin A’isyah RA yang diisukan ada ‘affair’ –na’udzubiLLAAH- dgn salah seorang sahabat yaitu Shafwan bin Mu’aththal RA yang berwajah ganteng saat pasca perang Bani Musthaliq (hadits selengkapnya dapat dirujuk dlm Kitab Ash-Shahihain
[8]), yang jika kita teliti lebih mendalam hadits tersebut maka dapat kita simpulkan beberapa hukum fiqh sbb:
1. Bahwa data memang ada (yaitu Aisyah RA berjalan berdua dgn Shafwan RA), namun data tersebut -oleh orang yang menyebarkannya- tak dikonfirmasi dahulu kepada sumbernya.
2. Kenapa itu sampai terjadi? Lalu kalaupun mereka memang berjalan berdua (tepatnya Shafwan RA menuntun Unta yang membawa Aisyah RA) maka apakah penyebabnya? Lalu apakah benar itu dilakukan oleh mereka dgn sengaja? Lalu apa saja yang mereka lakukan dlm perjalanan tersebut? Dst.
Lalu perhatikanlah baik-baik -wahai ikhwah wa akhwat fiddin a’azzakumullah- renungkanlah bagaimana RABB kita, Pemilik kita & Pembimbing kita yang Maha Mengajari & Maha Mendidik telah mengajari kita dikala menyampaikan taujih Rabbani-NYA, IA –Jalla wa ‘Ala- yaitu IA tak langsung memberikan klarifikasi tentang duduk peristiwanya atau benar atau tidaknya tuduhan tersebut, melainkan IA malah meluruskan mawaqif kaum mu’min jika mendengar berita seperti itu, yaitu agar membersihkan hati-hati mereka, mengarahkan ittijah (arah) mereka agar naik ke langit & agar lepas dari tujuan-tujuan duniawi yang kotor, & memberikan taujih yang membuat berlinangan airmata orang-orang yang bertaqwa & gemetar hati orang-orang yang ikhlas:
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dlm penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Mengapakah di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin & mukminat tak berprasangka baik terhadap diri mereka sendiri, & (mengapa tidak) berkata: Ini adalah suatu berita bohong yang nyata?! Mengapa mereka (yang menuduh itu) tak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?! Oleh karena mereka tak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. Sekiranya tak ada karunia Allah & rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia & di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut & kamu katakan dgn mulutmu apa yang tak kamu ketahui sedikit juga, & kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah amat besar. Dan mengapa kamu tak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan hal seperti ini.
Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang amat besar.
” [9] Perhatikanlah bagaimana IA -Yang tak pernah tidur & Maha Mengawasi- menegur dgn amat keras kepada sang penyebar isu & orang-orang yang membenarkannya, sebagaimana dapat difahami dari susunan kalimat & gaya bahasa yang digunakan-NYA saat menyampaikan kalimat di surat An-Nuur di atas. Perhatikanlah Allah berfirman:
“…Dan kamu menganggapnya (menyiarkan berita yang belum di-tabayyun itu) adalah suatu (dosa) yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah (dosanya) adalah amat besar.” Imam Ibnu Katsir –rahimahuLLAAH- saat menafsirkan ayat ini
[10], menukil sebuah hadits yang diriwayatkan dlm Ash-Shahihain: “Ada seorang laki-laki yang mengucapkan 1 kata (yang membuat ALLAH murka) yang ia tak menyangkanya akan demikian itu, sehingga akibatnya ia dilemparkan ke neraka dari jarak yang lebih jauh dari Timur & Barat.”[11]
Sementara Imam Al-Qurthubi dlm tafsirnya
[12] menyatakan bahwa makna ‘bi-anfusihim’ (terhadap diri mereka sendiri) dlm ayat tersebut sebagai ‘bi-ikhwanihim’ (terhadap saudara mereka sendiri), kemudian beliau –rahimahuLLAAH- melanjutkan: “Bahwa ALLAH SWT mewajibkan kepada seluruh orang beriman jika ada orang yang mencela orang lain ataupun menyebarkan isu, sementara yang menyampaikannya tak dikenal (keadilan & ke-wara’-annya) maka hendaklah ia menolaknya & mendustakannya.”
Asy-Syahid (insya ALLAH) Sayyid Quthb –rahimahuLLAAH- menegaskan bahwa makna ‘bal huwa khayrul lakum’ (bahkan isu tersebut adalah baik bagi kalian), bahwa maknanya adalah : “karena ia menyingkap tipudaya & para pelakunya terhadap Islam… & ia juga menyampaikan kepada seluruh jama’ah islam akan urgensinya diharamkan menuduh & hukuman dera bagi para pelakunya… sebenarnya yang penting bukan sekedar hukuman tersebut, tetapi perlunya mengarahkan jama’ah ini menuju tujuan yang suci, cita2 yang tinggi & perilaku yang bersih & suci..
”[13] Para Ulama Salafus Shalihin juga memberikan penekanan terhadap hal ini. Berkata Imam Al-Muhasibi –rahimahuLLAAH- : Cinta itu ada 3 macam, tidaklah seorang itu disebut sebagai orang yang mencintai ALLAH SWT kecuali dgn ketiga sifat tersebut, yaitu :
1. Mencintai orang mu’min karena ALLAH & tanda-tandanya adalah : Menahan diri dari menyakiti mereka, memberikan manfaat pada mereka;
2. Mencintai Rasul karena ALLAH SWT & tanda-tandanya adalah mengikuti sunnahnya;
3. Dan mencintai ALLAH SWT & tanda-tandanya adalah dgn taat pada-NYA & tak bermaksiat pada-NYA.
Lalu Imam al-Muhasibi menambahkan : Dan diantara tanda menahan diri dari menyakiti sesama muslim adalah dgn tak buruk-sangka kepadanya.
Berkata Imam Al-Qasimi –rahimahuLLAAH- : “Dan sebagaimana kamu diwajibkan utk menghentikan lisanmu dari menyakitinya, maka demikian pula kamu diwajibkan utk menghentikan hatimu dari menyakitinya pula yaitu dgn tak berburuk-sangka padanya, karena buruk-sangka adalah meng-ghibbah dgn hati & sama pula dilarang melakukannya. Maka menutupi aib & kelemahannya serta melupakannya merupakan salah satu tanda orang-orang yang ahli agama.
Dan ketahuilah bahwa tak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sesama muslim sama seperti ia mencintai dirinya sendiri. Dan derajat terendah dari ukhuwwah adalah bergaul dgn saudaranya sesama muslim dgn hal yang ia sukai & melupakan kekurangan dgn menutup kekurangannya & berusaha menghilangkan sifat iri & dengki, maka barangsiapa yang masih ada kedengkian dlm hatinya maka saksikanlah bahwa imannya lemah, dirinya berpenyakit & hatinya busuk sehingga tak pantas ia utk berjumpa dgn ALLAH SWT.”
Ikhwah wa akhawat fiLLAAH hafizhakumuLLAAH,
Kita tak mengkuatirkan apabila isu & fitnah itu disebarkan oleh para musuh Islam atau kaum munafiqin, karena mereka memang ditaqdirkan utk memerangi Islam & syariat ALLAH SWT, tetapi yang kita kuatirkan adalah jika isu atau fitnah itu disebarkan oleh sesama kaum muslimin –baik itu karena kejahilan atau karena keburukan akhlaq mereka- (kita berlindung kepada ALLAAH SWT dari keduanya), bahkan yang lebih parah lagi jika isu itu juga ditelan oleh para kader dakwah, sehingga mereka disibukkan dgn mendengar haditsul-‘ifki (berita bohong) sementara wazhifah-yaumiyyah tak dikerjakan, mereka sibuk membicarakan & menyebarkannya dlm berbagai liqa’at, sehingga melemahkan shaff & memudarkan semangat jihad mereka, maka dgn demikian para qiyadah akan disibukkan terus-menerus utk meng-counter isu demi isu –dan inilah yang diinginkan oleh para musuh Islam- padahal isu tersebut amat jauh dari keadaan mereka, bahkan jangankan mereka berani mengkhianati ummat, sementara anak & istri merekapun sering terabaikan demi dakwah, pekerjaan tetappun tak punya & penghasilanpun tak jelas karena makin bertambah beratnya beban dakwah & makin meluasnya jaringan yang harus dikelola. Jikapun kita tak mau membantu mereka karena kesibukan ma’isyah ataupun studi kita, maka janganlah perberat beban mereka dgn menambah kerja mereka dgn hal-hal yang membuat fikiran semakin penat & rambut semakin memutih, sebaliknya doakanlah mereka & mintakan ampun bagi mereka disela-sela sujud & tahajjud kita semua.
Ikhwah wa akhwat fiddin a’azzakumuLLAAH,
Saat-saat jihad siyasah sudah dekat, orang-orang telah merapatkan barisannya utk menekan kebangkitan ini & mengalahkan barisan para du’at, genderang perang sudah mulai ditabuh, isu sudah mulai ditebarkan kemana-mana utk mencerai-beraikan pasukan & melemahkan semangat juang. Maka al-akh ad-da’i & al-ukh ad-da’iyyah dituntut utk berprasangka baik pada dirinya & orang lain, & bagi seorang al-akh agar senantiasa berprasangka baik pada qiyadah-nya, murabbi-nya & para ikhwah-nya yang lain. Dan jangan melawan isu dgn isu, jangan melawan fitnah dgn fitnah pula, jangan melakukan provokasi, karena kita tak berjuang demi dunia & kenikmatan sesaat, mendekatlah kepada ALLAH SWT, bersabarlah juga karena ALLAH SWT karena IA melipatgandakan pahala bagi mereka yang bersabar, ikhlas & teguhlah dlm berjuang karena kita tak berjuang karena si Fulan atau si Fulanah, sebab si Fulan atau si Fulanah akan mati & akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di yaumil Mahsyar, tetapi perjuangan kita adalah demi li I’la kalimatillah, maka siapa yang menyimpang dari tujuan tersebut, maka saksikanlah bahwa ia telah bersiap-siap utk menyimpang ke neraka. Maka berbaik-sangka pada sesama saudara seiman adalah tanda iman & merupakan tuntutan ukhuwwah & tak ada ukhuwwah tanpanya, sebagaimana sabda nabi SAW : “Jadilah kalian hamba-hamba ALLAH yang bersaudara.
”[14] Akhirnya saya akhiri tulisan ini dgn doa seorang hamba yang mu’min dlm Al-Qur’an: “Wahai RABB kami, ampunilah dosa2 kami & saudara-saudara kami yang yang telah mendahului kami dlm keimanan, & janganlah ENGKAU jadikan dlm hati kami kedengkian thd orang-orang yang beriman, wahai RABB kami, sesungguhnya ENGKAU adalah Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
Wallahuu a’lamu bish-Shawaab…
Catatan Kaki:
[1] QS An-Nuur, 24/11-16
[2] HR Bukhari, XVII/210 & Muslim, XVI/413; bahkan Imam Muslim menulis dlm shahih-nya bab: Haramnya Su’uzhan, Mencari2 Kesalahan Orang Lain… (XVI/412)
[3] HR Muslim, no. 2564; Tirmidzi, no. 1928
[4] QS An-Najm, 53/23
[5] QS An-Najm, 53/28
[6] QS Al-Fath, 48/12
[7] QS Al-Hujuraat, 49/12
[8] HR Bukhari, Bab: Law Laa Idz Sami’tumuuhu Qultum…, XV/457
[9] QS An-Nuur, 24/11-16
[10] Tafsir Al-‘Azhim, VI/28
[11] HR Bukhari, no. 6478 & Muslim, no. 2988
[12] Tafsir Al-Ahkam, XII/202
[13] Tafsir Az-Zhilal, V/265
[14] HR Bukhari, XX/205; & Muslim, XVI/400
Redaktur : Gilang Ramadhan
[1] QS An-Nuur, 24/11-16
[2] HR Bukhari, XVII/210 & Muslim, XVI/413; bahkan Imam Muslim menulis dlm shahih-nya bab: Haramnya Su’uzhan, Mencari2 Kesalahan Orang Lain… (XVI/412)
[3] HR Muslim, no. 2564; Tirmidzi, no. 1928
[4] QS An-Najm, 53/23
[5] QS An-Najm, 53/28
[6] QS Al-Fath, 48/12
[7] QS Al-Hujuraat, 49/12
[8] HR Bukhari, Bab: Law Laa Idz Sami’tumuuhu Qultum…, XV/457
[9] QS An-Nuur, 24/11-16
[10] Tafsir Al-‘Azhim, VI/28
[11] HR Bukhari, no. 6478 & Muslim, no. 2988
[12] Tafsir Al-Ahkam, XII/202
[13] Tafsir Az-Zhilal, V/265
[14] HR Bukhari, XX/205; & Muslim, XVI/400
Redaktur : Gilang Ramadhan
sumber: www.al-ikhwan.net
0 komentar:
Posting Komentar